Angry Management, Emotional Personality

Picture : Pixabay.com

Apapun yang pernah kita alamai sejatinya semua adalah skenario dari Allah. Dari sebelum lahirpun kita telah mempunyai takdir sendiri. Nasib adalah perbuatan yang akibatnya menjadikan status kita saat ini. Jadi nasib sebenarnya adalah beberapa rangkaian takdir yang bisa kita pilih. Ada yang mutlak dan ada yang terjadi sesuai kesanggupan kita.


Contohnya jika kita adalah malas belajar, secara nasib kita pasti tidak akan lulus ujian atau mendapat nilai jelek, tapi takdir mutlaknya jika otak kita memang encer (yang sekali baca atau tahu aja langsung ngerti), otomatis jika tidak belajar kita akan tetap lulus-lulus aja.

Memang tiap orang punya presepsi dan cara pandang berbeda-beda dalam menyikapi suatu masalah. Tapi bagaimana jika masalah kecilpun dihadapi dengan emosi yang tinggi? lalu bagaimana menghadapi masalah yang besar ?


Baca juga :


Habit tiap orang memang berbeda-beda, dan setiap orang tua pun juga berbeda-beda cara mendidik anak-anaknya. Lalu darimana mereka mendapatkan pendidikan emosional yang sesungguhnya? Apakah tetap dari orang tua yang bernama bapak dan ibu. Dimanapun mereka bersekolah dan meraih gelar, pendidikan emosional itu tak akan pernah mereka dapatkan kecuali di rumah. Maka rumah sangat berperan penting bagi pembentukan karakter seorang anak, Bagaimana mereka bertanggung jawab dengan tugas-tugasnya dirumah, bagaimana mereka menghormati saudara-saudaranya, bagaimana ber tata krama dengan orang tuanya sendiri dirumah, bahkan juga pendidikan tentang kejujuran sangat berperan penting di dalam suatu keluarga. 

Nah pertanyaannya, bagaimana jika mereka tidak mendapatkan itu semua ? Tentu saja penyimpangan sikap akan terlihat dengan nyata saat mereka tumbuh dewasa. Lalu siapa yang harus di salahkan? Pertanyaan ini seperti menyudutkan tapi tentu saja orang utama yang berperan penting pembentukan karakter seorang anak ini adalah orang tua, Orang tua bisa di anggap gagal, jika anak tersebut tumbuh dengan perilaku menyimpang. Contoh, anak tersebut tidak bisa bersikap jujur, kurang menghormati orang tua, tidak bisa bersikap lembut, keras kepala dan sulit bersikap transparansi terhadap apapun yang di alaminya, tidak menganggap orang tuanya ada (jadi ia selalu berfikir sendiri), kurang bertanggung jawab dengan tugas-tugas rumahnya dan kemajuan masa depannya.

Kenapa semua itu terjadi ? Apa yang salah dalam pembinaan di dalam rumah itu ? Pasti setiap orang dapat menilai dengan jelas siapa yang paling berperan membuat hal itu terjadi. Tapi bagaimana jika kekeliruan itu tidak dapat teratasi seiring sang anak sudah beranjak dewasa sehingga tidak mudah membuat perubahan itu terjadi?

Terkadang kita tidak dapat membuat semua berubah semudah membalikan telapak tangan. Saya sendiri berfikir kondisi itu disebabkan beberapa kebocoran di saat kasus-kasus kecil nampak sebelumnya, tapi tidak diperhatikan.

Kondisi emosional bagaimanapun sangat berperan terhadap pribadi setiap orang. Jika saat pembentukan karakter itu tidak berlangsung sempurna saat tumbuh dewasa, maka ia akan menjadi pribadi yang kurang kuat dan kokoh. Dia harus bekerja keras untuk terus melawan arus yang sangat kejam di luar sana.

Emosi seseorang bisa jadi adalah modal utama saat ia bersinggungan dengan lingkungan sekitar. Seseorang yang mempunyai tabiat pemarah ia akan dengan mudah marah dan kesal terhadap beberapa kasus kecil yang seharusnya bisa di toleransi. Jika emosinya tidak bisa dikendalikan maka ia akan bermasalah terhadap hal-hal kecil dan besar terus kedepannya.

Tapi bagaimana jika si pemilik habit buruk itu adalah senior kita atau bahkan orang yang di tuakan ? 
Bagaimana menghadapi orang yang jelas-jelas bertabiat pemarah, keras kepala dan suka "ngeyel" meskipun dia tahu dia salah dan itu bisa jadi menurun ke anak-anaknya atau orang sekitar, bukan?

Gak semua harus dihadapi pakai urat, kalau orang bijak bilangnya "yang waras ngalah, ngalah bukan berarti kalah" saya rasa statement itu lumayan mendamaikan hati. Kita bisa menghindar atau pergi jika memang dalam kondisi yang tidak memungkinkan, tapi balik lagi ini bukan berarti kalah.

Lalu bagaimana menahan emosi jika berhadapan dengan orang yang keras kepala ? Apakah cukup menahan diri, atau berusaha memplokamirkan bahwa situ benar, lho bukannya itu malah akan menjadi-jadi ? Ada orang yang bilang juga bahwa yang berhadapan dengan orang gila tidak perlu diladeni, dan orang bijak bilang, "jika anda benar tidak perlu menjelaskan diri anda benar, itu hanya akan membuang-buang waktu saja".

Jika bicara dengan keras di anggap bisa membuat semuanya beres, lalu kenapa dikatakan guru yang favorit adalah guru yang dapat membuat murid mengerti akan pelajarannya yang diajarkannya secara perlahan Bukan yang pintar dalam menertibkan murid yang nakal.

Tidak semuanya harus menggunakan suara yang keras dan bahasa yang tidak enak di dengar guna membuat seseorang itu mengerti, tapi justru kata-kata perlahan yang gampang masuk ke kupingnya dan ke pikirannya, bukan? tentunya kata-kata ini sudah dipikirkan dengan matang untuk disampaikan Bukan Hanya sembarang kata yang keluar kepada orang yang di anggap dewasa. 

Sejatinya memang semuanya tidak ada yang sempurna, tapi kita seharusnya juga bisa bersikap legowo atas beberapa hal yang tidak sesuai dengan keinginan hati. Andai saja setiap orang mampu lebih mau bersikap menerima maka tidak akan sulit merubah sesuatu yang sulit menjadi yang lebih baik. Merubah yang selama ini salah menjadi lebih bijak dan berarti bukan kekeuh terus terhadap sesuatu yang salah. Sesuatu yang salah bukanlah menjadi kewajiban untuk terus disimpan menjadi kesalahan yang kekal, tapi perlahan dibuka untuk yang lebih baik. Apapun itu baik sikap maupun kebiasaan jika dari diri kita mau merubah untuk lebih baik tentu efeknya akan lebih luar biasa.

Perubahan itu memang harus dilakukan apalagi terhadap sesuatu yang salah, tapi memang tidak mudah. Dan seringkali kita kalah akan status sebagai anak, atau lebih junior. Pandangan yang tua selalu benar itu muncul dari budaya yang turun menurun yang sebenarnya adalah sebuah ke egoisan sikap, yang tentuanya merugikan orang-orang sekelilingnya. Sayangnya sikap ini beranak pinak dari beberapa leluhur dahulu yang tentunya salah, sehingga orang muda saat ini yang lebih bersikap terbuka dan blak-blakan cenderung dibilang sok tau, dan sombong, ya "baru tahu kamu sombong", dan ini benar-benar salah. Yang jelas sebagai pribadi yang waras kita harus dituntut bersikap legowo dan sabar. "sing sabar yo ndok"..


Baca Juga :



Kunjungi juga channel youtube saya
👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇


Video : Youtube/ Catatan Anita




Post a Comment