Masyarakat Kota dan Gaya Hidup

Picture : pixabay.com

Dulu saya sebagai pelajar yang baik tidak pernah tau kerasnya hidup seperti apa, dalam arti saya gak pernah merasakan gimana susahnya mencari uang, gimana harus bisa pintar maintain uang. Apa yang harus di kerjakan untuk mendapatkan sesuatu yang bisa memperbaiki hidup. Enggak pernah tau sama sekali. Yang saya pikirkan cuma belajar dan belajar dan gimana caranya agar saya bisa lulus dengan tepat waktu tanpa menambah beban orang tua lagi. Setelah bekerja saya merasakan bahwa semua berbeda ya. Apa yang saya alami di lingkungan kampus dengan lingkungan kerja berbeda. Apalagi saya bekerja di pusat segitiga emasnya jakarta. Beberapa sama tapi beberapa dirasa berbeda. Mereka yang sudah mengerti uang pasti beda gaya hidupnya dengan orang yang uangnya pas-pasan.
Dulu saya berpikir kalau kerja enak ya bisa berpenghasilan sendiri dan saya bisa beli apapun yang saya mau. Tapi pada kenyataannya setelah menerima gaji semua itu sama tapi tidak sama. Alias, ya memang benar saya bisa beli apa yang saya mau, tapi tidak dengan barang-barang tertentu. Semua bisa dibeli dengan ukuran harga yang disesuaikan dengan pendapatan saya saat itu. Lalu saya mulai berpikir berarti apa yang saya punya ini masih belum cukup ya untuk membeli barang-barang "itu", pemikirannya waktu kuliah dulu kalau angka yang itu sepertinya cukup dan bisa membeli apapun, tetapi pada kenyataannya Tidak sama sekali. Trus saya mesti gimana?

Picture : pixabay.com


Dan saya memandang sekeliling, lalu mengamati apa sih yang berbeda kenapa ya ada beberapa orang yang gaya hidupnya kok kayanya high class ya. Dan ternyata itu semua dikarenakan lingkungan yang berpengaruh besar. Yup, gaya hidup perkotaan yang sebagian besar menganut hedonisme itu mau gak mau sangat mempengaruhi orang-orang sekitarnya tak terkecuali dengan orang-orang yang sebeneranya hanya punya penghasilan pas-pasan.

Hal ini sangatlah berefek pada pengaturan keuangan setiap individu. Kenapa ? ya karena dengan gaya hidup yang seperti itu sedikit banyak memaksa kita untuk mengeluarkan uang lebih banyak. Apakah itu penting atau tidak ya itu masalah nanti, yang penting itu gaya dulu masalah miskin nomor kesekian. Makanya ada ungkapan yang ngetrend kan "biar miskin yang penting sombong", Ya Tuhan ada apa dengan dunia ini. Bukankah kita di ajarkan untuk tidak boleh sombong, karena sombong itu sifatnya setan, lalu kalau dipikir-pikir statement itu untuk apa, atau hanya untuk konyol-konyolan aja, dan apakah ini memang lucu ?

Saya sendiri lebih suka yang jujur-jujur saja dan perlu kepura-puraan, tidak perlu bergaya-gayaan terlalu keras hanya untuk dinilai keren, tapi pada ujungnya kamu sendiri harus narik gesper lebih dalam lubangnya untuk beberapa hari kedepan puasa sampai hari gajian itu datang. Untuk apa ? yang ada kan malah menyengsarakan diri sendiri ya toh ? Kan demi gaya, gaya untuk siapa ? kan sama temen-temen. Lalu apakah hidup kamu itu untuk bersama teman-temen terus ? Itu semua memang pilihan. Gak ada yang salah, dan gak bisa menyalahkan orang lain juga tapi setidaknya bisalah dipikirkan lebih bijak lagi sebelum mengikuti arus tersebut. Toh kalau kita sakit, kita jatuh, kita sengsara apa mereka perduli, apakah kalau kita kesusahan mereka  akan langsung turun tangan ? yakin mereka akan masuk di urutan pertama sebagai orang yang perduli sama kamu?

Gaya hidup perkotaan dari dulu sampai sekarang memang selalu bikin orang kadang bersikap irasional. Mereka rela merogoh kantong sedalam dalamnya demi sebuah gaya. Yang mengenaskan adalah ada seorang pegawai kantoran biasa yang nilai pendapatannya juga biasa-biasa aja habis gajinya sebelum tanggal gajian berikutnya dan dia gak malu untuk merengek minta uang kepada orang tuanya. Sangat prihatin baanget ketika dia bilang "gaji gw mah lewat doang, nih tanggal muda juga udah sekarat". Ya ampun.. apakah harus demikian paranya, kita banting tulang hanya untuk menikmati kesenangan sesaat. Dengan entengnya bilang begitu, kalau udah begini orang ini dodol atau apa ? Sedangkan hidup itu perlu uang yang di save agar jika sewaktu-waktu butuh kita bisa pakai dan gunakan, untuk rencana pernikahan, untuk investiasi masa depan, dan untuk keberlangsungan hidup tentunya.

Ada lagi yang bilang rejeki itu kan sudah di atur udah sih gak usah ribet banget, bawel deh. Lah tapi kalau habitnya begitu  apa kabar sama masa depan kamu? bagaimana kamu bisa bertanggung jawab sama hidup kamu selanjutnya. Memang rejeki itu sudah di atur, tapi bukankan Allah juga gak suka dengan sifat boros karena boros itu temennya setan. Nah lho kan.. lagi lagi kita disuruh bijak mengatur uang.

Gaya hidup memang sebagian besar dari lingkungan teman sekitar tapi gak jarang juga kalau habit yang diperoleh itu dari lingkungan keluarganya yang memang mentolerir sikap-sikap ini, yang akhirnya membudaya pada diri orang tersebut. Kalau hemat saya bisa katakan, berapapun uang yang dihasilkan akan kurang atau habis-habis saja kalau menganut habit hedonisme jadi intinya harus bijak mengatur uang.

Kita memang gak bisa memaksakan seseorang untuk bersikap seperti apa yang kita lakukan pada diri kita, tapi setidaknya kita bisa memilah dan memilih smana yang bagus dan tidak untuk kita ikuti. Ini masalah habit dan gaya hidup, setiap keluarga punya kebiasaan masing-masing begitupun kita sendiri. Yang jelas gaya hidup perkotaan gak semuanya memang jelek tapi kebanyakan berlebihan. Saya sendiri menyadari hal itu, contohnya saat weekend apa sih yang dituju kalau bukan mall dan sejenisnya. Lalu di dalam mall kamu bisa saja dengn mudah habiskan berapa uang kamu dalam sehari 200,300, 500 atau 1 juta? Seacara gak langsung kamu kehipnotis sama hingar bingar mall dan kemewahannya yang menyuruh kamu untuk mengeluarkan uang lebih banyak lagi kalau kesana. Sedangkan kalau dirumah kamu bisa ng'rem pengeluaran namun sayangnya kalau sudah sampai mall hal itu dirasa sulit bukan?

Buat orang yang berpenghasilan besar memang tidak ada masalah tapi bagaimana dengan orang-orang menengah kebawah ? Pasti bakal ikut-ikutan juga yang berakibat puasa dibelakangnya. Miris sih, tapi inilah kenyataannya, kemudahan dan kemewahan membuat orang lupa pada bagian penting dari permasalahan dirinya sehari-hari. 

Gaya hidup perkotaan membuat orang buta akan diri pribadinya masing-masing sehingga lebih mengutamakan nilai, sebuah status dan harga diri dan mengesampingkan fakta nyata dari dirinya sendiri apakah mampu atau tidak. Banyak orang demi gengsi membuat hutang dimana-mana, dan parahnya sampai dia sendiri terlilit hutang dan ini semua dikarenakan kurangnya memperhitungkan kondisi keuangannya yang lagi-lagi demi gengsi dan status.

Banyak orang sudah tidak menjadi dirinya sendiri, mereka mengikuti ego agar bisa kaya si a, si b atau si c. Enggak tau caranya gimana yang penting gw bisa dan gw punya. hmhmhmh, bener-bener ini salah dan gak bener. Dan akhirnya norma-norma susila di hajar aja terus. Kadang saya berpikir, apa memang harus begitu ya, trus kenapa sampai sebegitunya ya, lalu untuk apa, kenapa mereka sampe sebegitunya ya. Dan seringnya saya mendapatkan jawabannya yang luar akal sehat.

Bagi saya menjadi diri sendiri adalah yang terbaik, lalkukan semampunya bukan untuk dipandang orang hebat tapi kita memang lakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan. Kalau menuruti keinginan dan penilaian orang saja kita akan dibikin cape, cape hati cape pikiran dan cape segala-galanya, dan ujung-ujungnya bisa stres sendiri, jangan sampai itu terjadi sama kita.

Apa yang orang nilai biarkan saja kalau ingat cerita tentang si anak dan bapak yang memiliki seekor keledai itu, yang bisa di tarik kesimpulannya adalah kita gak perlu memusingkan orang akan bilang apa tentang hidup kita. kalau kita sibuk akan penilaian orang yang ada kita akan salah terus dimata orang, dan semua itu gak akan ada habisnya. Hiduplah sesuai dengan kemampuan diri bukan berdasarkan pernilaian orang lain, that is the best way!


Baca Juga :

Post a Comment